cerpen fiksi tentang tokoh Sastra Jahiliyah

"The tongue of a man is one half, and the other half is his
mind, and here is nothing besides these two, except the shape
of the blood and the flesh".
(Zuhayr bin Abi Sulma)

“Apa yang kamu lakukan Burdah!? Amran itu temanmu! Lemparkan pisau itu!” teriak Ummu Amran melihat anaknya terancam terbunuh. Sementara itu orang- orang hanya terdiam melihat kejadian didepan mata mereka. Cukup lama kerumunan itu tertegun, lalu datanglah Asma dan berkata, “apa ini? Bagaiman seorang yang sudah setua dirimu begitu kekanakan?” Hanya dengan kalimat itu, Burdah melepas cekikan dan pisaupun terjatuh.
Asma seperti biasa, orang yang pemberani dan kata- katanya tajam. Dan seperti biasa pula, Burdah selalu merasa malu dan kikuk saat didekat Asma. Zaman Jahiliyah, dimana Asma begitu dihargai dan begitu dihinakan. Saat menjadi perempuan, ia diperjual bellikan bak barang dagangan. Namun saat menjadi penyair, tak seorangpun berani menyanggah kata- katanya.
Burdah masih terdiam dengan Asma yang ditinggalkan kerumunan tadi. Kini terik siang itu hanya menjatuhi cahaya pada mereka. “Burdah, apa yang membuatmu begitu kesal? Caritakanlah padaku.” Begitulah Asma meredam amarah Burdah. “Asma, tahukah kau, dahulu disini ada peperangan antara Bani Zubyan dan Bani Abi Abbas. Pada saat itu, ayahku dibawa paksa ke Mesir karena dituduh telah memulai mengancam Bani Abi Abbas. Dan tahukah kau Asma, sipa yang memberikan laporan palsu itu? Dia adalah Ummu Amran, lisannya itu, telah memisahkan aku dan ayahku.” Cerita Budah sambil menunduk bersedih mengingat ayahnya.
Cukup lama mereka berdua merenung, dan Asma masihpun memikirkan cara agar Burdah tak bersedih, dan tak lagi pula menyimpan dendam. Lalu terlintaslah dalam pikiran Asma mengenai suatu Sya’ir. Dan ia pun berkata, “kamu tahu puisi kematian milik Zuhayr bin Abi Sulma? Salah satu baitnya berisikan:

Lidah adalah sebagian dari manusia
Dan sebagian lainnya adalah darah dan daging.”

“Burdah, lisan dari Ummu Amran memang telah membuat ayahmu terpisah darimu, akan tetapi bukan berarti kau harus membalasnya. Dengan memisahkan Amran dari bunya, tidakkah kau berpikir mereka masih satu darah dan daging? Dan tidakkah kau berpikir kenapa ayahmu merelakan dirinya menjadi sandera? Pastilah ia melakukan itu agar tak ada lagi yang saling membunuh. Lalu apakah kau, akan menyiakan pengorbanannya itu?” mendengar itu Burdah pun terdiam. Kini ia sadar, dendam bukanlah jalan menuju kedamaian.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UPGRADE RAM ASUS X200M ?

pidato tentang kesedihan (blue)

someone